Liputan6.com, Jakarta - Tuberkulosis (TBC) masih menjadi momok kesehatan serius di Indonesia. Laporan Global Tuberculosis Report 2024 menempatkan Indonesia di posisi kedua dunia dengan estimasi 1,09 juta kasus TBC dan 125 ribu kematian per tahun.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa percepatan eliminasi TBC sudah menjadi salah satu program prioritas nasional. "Sejak ditemukan, TBC telah merenggut hingga 1 miliar nyawa di dunia. Saat ini, setiap tahun terdapat sekitar 1 juta kematian global, termasuk 125 ribu di Indonesia," kata Menkes Budi dalam Rapat Koordinasi Forum 8 Gubernur pada Selasa, 26 Agustus 2025.
"Artinya, setiap lima menit ada dua orang Indonesia meninggal karena TBC," ujar Budi
Budi Gunadi Sadikin menjelaskan tantangan utama saat ini adalah menemukan kasus yang belum terdeteksi. Dari estimasi 1 juta kasus per tahun, Indonesia baru mencatat 508.994 kasus hingga 25 Agustus 2025, atau sekitar 47 persen dari target nasional.
"Dari seluruh provinsi, hanya Banten yang berhasil mencapai target notifikasi kasus," katanya.
Menemukan Minimal 900 Ribu Kasus TBC
Lebih lanjut, Menkes Budi menambahkan bahwa target tahun ini adalah menemukan minimal 900 ribu kasus. "Begitu pasien ditemukan, pengobatan jelas tersedia. Yang terpenting memastikan pasien minum obat teratur selama enam bulan agar sembuh total dan tidak menularkan lagi," tambahnya.
Meski akses pengobatan sudah tersedia, tingkat keberhasilan terapi masih belum memuaskan. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 90 persen pasien TBC sensitif obat telah memulai pengobatan.
Namun, TBC resisten obat baru mencapai 77 persen dari target 95 persen. Bahkan, tidak ada provinsi yang mampu mencapai target keberhasilan terapi 90 persen untuk TBC sensitif obat.
Selain itu, cakupan Terapi Pencegahan TBC (TPT) juga masih rendah. Hingga Agustus 2025, hanya 108.590 kontak serumah penderita TBC (sekitar 8 persen) yang mendapat TPT, jauh di bawah target nasional 72 persen.
"Rendahnya capaian TPT menunjukkan pentingnya dukungan lintas sektor, peningkatan edukasi masyarakat, serta optimalisasi peran pemerintah daerah untuk memperluas cakupan pencegahan," kata Budi.
Mendagri Tito: Semua Daerah Harus Bergerak
Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian, menambahkan, percepatan eliminasi TBC tidak bisa hanya dibebankan kepada sektor kesehatan.
Menurutnya, seluruh perangkat daerah harus bergerak bersama melalui kebijakan, kewenangan, dan sumber daya yang ada. "Percepatan eliminasi TBC tidak bisa hanya dibebankan kepada sektor kesehatan semata. Semua perangkat daerah harus bergerak bersama. Kemendagri akan memastikan agar penanggulangan TBC menjadi prioritas pembangunan di setiap daerah," ujar Tito.
Dia mencontohkan pengalaman Indonesia menghadapi pandemi COVID-19 sebagai bukti bahwa kerja sama lintas sektor mampu membawa bangsa keluar dari krisis.
"Kita pernah menghadapi tantangan jauh lebih berat saat pandemi COVID-19, ketika belum ada vaksin dan obat. Namun dengan kerja sama semua pihak, kita bisa melewati masa sulit itu. Maka untuk TBC yang sudah lama kita kenal, dengan vaksin dan obat yang tersedia, seharusnya kita lebih mampu bergerak cepat dan terukur," tambahnya.
Tito juga mengingatkan kesenjangan layanan kesehatan yang masih terjadi, terutama di daerah terpencil. Saat berkunjung ke Papua, ia menemukan kasus TBC pada anak-anak yang tidak mendapat perawatan memadai.
"Ini ironi yang tidak boleh lagi terjadi. Kita harus serius menghadapinya," katanya.
Komitmen Menuju Eliminasi TBC 2030
Pemerintah menargetkan eliminasi TBC nasional tercapai pada 2030. Untuk mewujudkannya, pemerintah daerah diminta menetapkan regulasi, mengalokasikan anggaran memadai, memperkuat layanan kesehatan primer, serta melibatkan masyarakat dan sektor swasta dalam pencegahan serta pengobatan.
Dari sisi pendanaan, Menkes Budi memastikan dukungan anggaran sudah tersedia baik dari hibah maupun APBN. Namun, realisasi di sejumlah daerah masih rendah.
"Saya minta gubernur, bupati, dan wali kota memastikan anggaran TBC dimanfaatkan optimal untuk menemukan dan mengobati pasien," katanya.