Liputan6.com, Jakarta Ketika Chelsea membayar 100 juta pounds untuk mendatangkan Moises Caicedo dari Brighton pada 2023, banyak yang mengernyitkan dahi. Dua tahun berselang, gelandang Ekuador itu justru menjelma jadi salah satu pemain paling berpengaruh di Premier League.
Performa Caicedo mencapai puncaknya dalam kemenangan 2-1 atas Liverpool sebelum jeda internasional. Ia mencetak gol pembuka dengan gaya khas: agresif, berani, dan presisi tinggi. Alan Shearer bahkan menyebut penampilannya lengkap, memadukan naluri Frank Lampard dengan daya jelajah N’Golo Kante.
Kini, di usia 23 tahun, Caicedo mulai masuk daftar panjang gelandang ikonik Chelsea. Ia kerap menyebut Kante dan Claude Makelele sebagai inspirasinya, dua nama yang juga dikenal karena disiplin, kecerdasan, dan pengaruh besar dalam sistem permainan klub.
Namun di balik segala pujian, muncul tanda tanya besar: apakah Chelsea mulai terlalu bergantung pada satu pemain untuk menggerakkan seluruh tim?
Data Tak Bohong: Caicedo Salah Satu Gelandang Terbaik Dunia
Statistik memperlihatkan betapa luar biasanya kontribusi Caicedo musim ini. Tak ada gelandang di lima liga top Eropa yang mencatat lebih banyak tekel (28) atau intersepsi (18) dibanding dirinya.
Angka itu berarti Caicedo menyumbang 23% dari seluruh tekel Chelsea, rasio tertinggi kedua dalam catatan Opta sejak 2006/07. Hanya Josh Cullen (Burnley) yang punya lebih banyak blok pertahanan.
Lebih mengesankan lagi, sejak musim lalu Caicedo sudah mencatat 142 tekel tanpa sekalipun mendapat kartu merah atau skorsing akibat akumulasi kartu kuning. Ketepatan waktunya luar biasa, dan efektivitas duel fisiknya mencapai 59%, lebih tinggi dari Declan Rice (Arsenal) maupun Ryan Gravenberch (Liverpool).
Dari sisi ofensif, Caicedo juga menunjukkan progres signifikan. Tiga golnya musim ini datang dari expected goals hanya 0,5, dua di antaranya dari luar kotak penalti. Angka itu menegaskan keberaniannya menambah dimensi baru dalam permainan Chelsea, sesuatu yang jarang dilakukan gelandang bertahan murni.
Tekanan dan Beban Fisik yang Tak Wajar
Namun di balik ketangguhan fisiknya, data menunjukkan tanda bahaya. Laporan Fifpro menyebut Caicedo sebagai pemain dengan “beban kerja tak seimbang” dibanding rekan seprofesinya.
Dalam dua pekan pada Oktober 2024, Caicedo menempuh perjalanan hampir 25.000 kilometer untuk empat pertandingan di dua benua berbeda, dengan waktu pemulihan rata-rata hanya 110 jam. Secara total, musim lalu ia menghabiskan 175 jam dalam perjalanan dan melakukan 27 kali perjalanan lintas negara.
Chelsea juga tidak memberi jeda panjang bagi skuadnya. Setelah menjuarai Piala Dunia Antarklub, mereka hanya mendapat 20 hari libur musim panas, delapan hari lebih sedikit dari rekomendasi standar FIFA.
Asisten pelatih Willy Caballero mengakui, “Caicedo bermain terlalu banyak. Kami harus mulai mengatur beban mainnya.” Sumber internal klub bahkan menyebut sang pemain “keletihan secara ekstrem” sebelum akhirnya diberi izin absen dari tugas internasional.
Meski begitu, Caicedo tetap menunjukkan dedikasi luar biasa untuk Ekuador, membawa negaranya finis kedua di kualifikasi zona Amerika Selatan dan memastikan tiket ke Piala Dunia 2026.
Dari Kemiskinan ke Ikon Nasional
Caicedo lahir sebagai anak bungsu dari sepuluh bersaudara di Santo Domingo, Ekuador. Hidupnya dulu jauh dari kemewahan, namun lewat sepakbola ia berhasil mengangkat keluarganya dari kemiskinan. Kini, ia dianggap sebagai pahlawan nasional dan panutan bagi generasi muda di negaranya.
Popularitasnya di Ekuador melonjak tajam. Media lokal menyebutnya sebagai “Michael Jordan kami”. Dalam setahun terakhir, Caicedo menandatangani sembilan kontrak sponsor, termasuk dengan Banco Guayaquil dan perusahaan internet asal Tiongkok, dengan nilai jutaan dolar.
Kehidupannya pun mulai dijadikan inspirasi: sebuah serial animasi berjudul Mini Moi sedang dikembangkan untuk pasar Amerika Latin, mengisahkan perjalanan hidupnya dari jalanan Ekuador menuju panggung Premier League.