
TURKI menyatakan kesiapannya untuk mengambil peran utama dalam proses rekonstruksi Jalur Gaza setelah tercapainya kesepakatan damai antara sejumlah negara. Pernyataan itu disampaikan oleh Kepala Komunikasi Kepresidenan Turki, Burhanettin Duran, pada Senin (13/10).
Sebelumnya di hari yang sama, Presiden AS Donald Trump, Presiden Mesir Abdel Fattah Sisi, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani resmi menandatangani kesepakatan damai Jalur Gaza.
“Negara kami akan terus ikut memikul tanggung jawab rekonstruksi Gaza, menyembuhkan luka-lukanya, dan memastikan bahwa saudara-saudara kami di Palestina dapat menatap masa depan dengan penuh harapan dan keyakinan,” tulis Duran di X, menanggapi hasil KTT perdamaian Gaza di Mesir.
Ia juga menegaskan, “Negara kami akan terus berdiri di pihak yang tertindas, di pihak keadilan, dan menjadi pembawa pesan perdamaian.”
Duran menyebut KTT tersebut sebagai titik balik penting dalam diplomasi internasional untuk mencapai gencatan senjata permanen serta membangun stabilitas kawasan.
“Selama perundingan di KTT, Presiden kami (Recep Tayyip Erdogan) menegaskan kembali sikap tegas Turki berdasarkan prinsip-prinsip perdamaian, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan, serta menekankan pentingnya solusi dua negara untuk mencapai perdamaian abadi,” katanya.
Sebelumnya, pada 9 Oktober, Presiden Trump mengumumkan bahwa Israel dan Hamas telah menyepakati tahap pertama rencana perdamaian guna mengakhiri konflik di Gaza.
Dalam tahap tersebut, Hamas akan membebaskan sandera asal Israel, sementara Israel menarik pasukannya ke garis yang telah disepakati serta membebaskan ratusan tahanan Palestina — termasuk mereka yang dijatuhi hukuman seumur hidup.
Rencana perdamaian Gaza yang diluncurkan Trump pada 29 September terdiri atas 20 poin, termasuk seruan gencatan senjata segera dengan syarat pembebasan para sandera dalam waktu 72 jam.
Dokumen itu juga menegaskan bahwa Hamas dan kelompok Palestina lainnya tidak akan terlibat dalam pemerintahan Gaza secara langsung maupun tidak langsung, karena wilayah tersebut akan dikelola oleh pemerintahan teknokratis di bawah pengawasan internasional yang dipimpin Trump. (Ant/I-3)