Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengungkap dugaan maraknya praktik impor ilegal yang merugikan negara hingga Rp54 triliun per tahun. Praktik tersebut dinilai telah menekan industri dalam negeri, terutama tekstil dan produk tekstil (TPT), hingga menyebabkan puluhan perusahaan gulung tikar dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak 2022 hingga kini.
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta menjelaskan, berdasarkan data dari International Trade Centre, terdapat rata-rata 10.000 kontainer per bulan barang impor yang masuk ke Indonesia tanpa tercatat di Bea Cukai. Hal itu disampaikan Redma dalam suratnya kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, bernomor 098/APSyFI/X/2025 tertanggal 10 Oktober 2025.
"Gap data perdagangan Indonesia terutama dengan China dan Singapura menunjukkan semakin besarnya barang impor yang masuk tidak tercatat (ilegal). Selain kehilangan pendapatan sekitar Rp54 triliun per tahun, negara dirugikan dengan persaingan pasar tidak sehat sehingga tingkat utilisasi produsen dalam negeri turun, melakukan PHK hingga menutup perusahaannya, terutama di sektor tekstil dan produk tekstil, alas kaki, elektronik hingga perkakas rumah tangga," tulis Redma, dikutip Selasa (14/10/2025).
Dalam surat itu, APSyFI meminta audiensi resmi untuk membahas langkah penyelamatan industri tekstil nasional yang dinilai sudah berada di titik kritis.
"Kami memohon untuk dapat beraudiensi dengan Bapak (Menkeu Purbaya) bersama dengan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), untuk bersama-sama menyelamatkan industri tekstil saat ini," ujarnya.
"Kami berharap bisa menjelaskan lebih detail mengenai kondisi industri tekstil dan multiplier effect atas pemberlakuan trade remedies," lanjut dia.
Redma turut memaparkan secara terbuka akar permasalahan yang membuat impor ilegal terus marak. Salah satunya adalah sistem di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang belum menggunakan mekanisme port-to-port manifest.
"Ditjen Bea Cukai tidak menggunakan sistem port to port manifest, di mana Pemberitahuan Impor Barang (PIB/Inland Manifest) yang dibuat importir tidak didasarkan pada Master B/L, sehingga praktik misdeclare (under invoicing dan pelarian HS) digunakan oleh importir nakal dan selalu dimasukkan ke dalam jalur hijau (tanpa pemeriksaan fisik) oleh oknum petugas Ditjen Bea Cukai," jelasnya.
Selain itu, Redma juga menyoroti rendahnya pemanfaatan teknologi pemindai di pelabuhan.
"Pemeriksaan kontainer dilakukan tanpa AI Scanner dan sebagian besar kontainer masuk jalur hijau dengan alasan mengurangi dwelling time. Berdasarkan informasi dari beberapa pihak, banyak oknum petugas Bea Cukai yang juga enggan menggunakan AI Scanner," kata Redma.
Redma juga mengungkap adanya pemberian fasilitas impor berlebih tanpa pengawasan yang memadai, termasuk Kawasan Berikat (KB), Pusat Logistik Berikat (PLB), Gudang Berikat (GB), dan Mitra Utama Kepabeanan (MITA). Kondisi itu, menurutnya, membuka celah besar bagi praktik penyalahgunaan.
"Ditjen Bea Cukai memberikan banyak fasilitas impor (KB/PLB/GB/MITA) berlebih namun tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk melakukan pengawasan," tukasnya.
Redma juga menyebutkan aturan barang kiriman dan barang bawaan yang longgar turut menjadi celah bagi oknum importir untuk menghindari pajak.
"Aturan barang bawaan dan barang kiriman yang ringan, sehingga banyak oknum importir menggunakannya sebagai modus untuk menghindari pembayaran Bea Masuk dan perpajakan," kata dia.
Lebih jauh, APSyFI menuding lemahnya penegakan hukum dan adanya dugaan keterlibatan oknum di berbagai lembaga, semakin memperkuat terbentuknya jaringan mafia impor ilegal.
"Lemahnya penegakan hukum hingga kerja sama antara oknum importir, oknum jasa logistik, oknum petugas Ditjen Bea Cukai hingga oknum pejabat lainnya dengan perlindungan oknum aparat penegak hukum semakin kuat dan membentuk jaringan mafia impor," ujar Redma.
Untuk mengatasi kebocoran ini, APSyFI mengusulkan sejumlah langkah konkret. Di antaranya, penerapan sistem Electronic Data Interchange (EDI) port-to-port manifest yang menjadikan Master Bill of Lading sebagai dokumen utama Pemberitahuan Impor Barang (PIB) guna memastikan kesesuaian data impor.
Selain itu, pihaknya juga meminta pemerintah mewajibkan penggunaan AI Scanner di seluruh pelabuhan utama, serta menghapus fasilitas impor yang selama ini kerap disalahgunakan.
"Penggunaan AI Scanner, di mana semua kontainer harus masuk melalui AI Scanner dan masuk jalur merah (pemeriksaan fisik) apabila terdeteksi ada ketidaksesuaian antara isi kontainer dengan dokumen," kata Redma.
"Fasilitas impor untuk tujuan ekspor dibatasi hanya untuk Kawasan Berikat (KB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) saja dengan perbaikan sistem pengawasan serta menghapus fasilitas PLB/GB/MITA," lanjutnya.
Redma berharap pemerintah melalui Menteri Keuangan segera menindaklanjuti temuan ini dan membuka ruang dialog untuk menyelamatkan industri tekstil nasional.
"Kami memohon untuk dapat beraudiensi dengan Bapak Menteri Keuangan, (demi) menyelamatkan industri tekstil saat ini," pungkasnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Barang Tidak Laku, 3 Juta Pekerja Tekstil Terancam PHK