Rencana pemerintah pusat untuk mengurangi besaran transfer kas ke daerah kembali menimbulkan perdebatan. Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya efisiensi fiskal dan pengendalian defisit anggaran.
Namun, kebijakan tersebut juga mengundang kekhawatiran banyak pihak karena berpotensi memperlebar kesenjangan pembangunan antarwilayah. Di tengah semangat desentralisasi yang telah berjalan lebih dari dua dekade, keputusan ini terasa paradoksal: efisiensi di tingkat nasional bisa berujung pada ketimpangan di tingkat lokal.
Sejak otonomi daerah diberlakukan, mekanisme transfer dana dari pusat seperti Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil menjadi tulang punggung keuangan banyak pemerintah daerah.
Bagi sebagian besar daerah, terutama yang minim sumber daya alam dan ber-PAD rendah, dana transfer adalah nyawa penyelenggaraan pemerintahan. Ketika jumlah transfer dikurangi, ruang fiskal daerah menyempit. Program prioritas, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, terancam tersendat.
Argumentasi Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat memiliki alasan kuat di balik kebijakan ini. Dalam konteks global yang penuh ketidakpastian mulai dari fluktuasi harga komoditas, pelemahan ekonomi dunia, hingga tekanan fiskal akibat subsidi pemerintah perlu menata ulang belanja agar lebih efisien. Dana transfer yang tidak terserap optimal di beberapa daerah dijadikan dasar evaluasi.
Pemerintah beranggapan bahwa sebagian dana yang dikirim ke daerah tidak menghasilkan dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, pengurangan dilakukan agar anggaran negara dapat dialihkan ke sektor yang lebih produktif dan berdampak langsung.
Namun, efisiensi di pusat belum tentu berarti keberlanjutan di daerah. Banyak pemerintah daerah kini menghadapi dilema berat: bagaimana memenuhi kebutuhan masyarakat ketika dukungan fiskal menurun. Daerah tertinggal dan non-industri paling rentan karena tidak memiliki sumber pendapatan alternatif yang kuat.
Ketimpangan antarwilayah pun dikhawatirkan makin melebar antara daerah kaya yang mampu membiayai dirinya sendiri dengan daerah miskin yang makin bergantung pada pusat. Akibatnya, cita-cita pemerataan pembangunan yang menjadi dasar otonomi daerah justru menjauh dari kenyataan.
Risiko Ketergantungan Baru
Keterbatasan fiskal daerah juga bisa memunculkan konsekuensi lain: meningkatnya ketergantungan pada sumber pembiayaan jangka pendek, seperti pinjaman atau skema kerja sama yang tidak berkelanjutan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan beban fiskal baru, bahkan mengancam stabilitas keuangan daerah.
Ketika kemampuan fiskal melemah sementara kebutuhan publik terus meningkat, kualitas pelayanan masyarakat berpotensi menurun. Ironisnya, kebijakan efisiensi yang diharapkan menyehatkan fiskal nasional justru bisa menimbulkan risiko baru di tingkat lokal.
Pengurangan transfer kas daerah seharusnya tidak dilakukan secara seragam. Pemerintah perlu mengedepankan pendekatan berbasis kinerja (performance based transfer). Daerah yang mampu mengelola anggaran secara transparan, inovatif, dan efektif patut diberi insentif lebih besar.
Sebaliknya, daerah dengan serapan rendah atau kinerja lemah bisa diberi pembinaan dan evaluasi ketat. Pendekatan ini lebih adil dibanding sekadar pemotongan dana tanpa mempertimbangkan konteks dan kapasitas tiap daerah.