UNIVERSITAS Gadjah Mada (UGM) menonaktifkan YHF, 56 tahun, dosen di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) yang terlibat praktik layanan sekretom tak berizin. Praktik ilegal YHF diungkap oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"YHF telah dinonaktifkan dari kegiatan tridharma perguruan tinggi, agar yang bersangkutan dapat fokus menghadapi kasus hukumnya," kata Juru Bicara UGM I Made Andi Arsana, Rabu, 27 Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
YHF diketahui menjalankan praktik produksi dan terapi produk turunan stem cell berupa sekretom ilegal itu di sebuah klinik, di Magelang, Jawa Tengah. Ia menggunakan bahan dari plasenta manusia. Pasien yang datang ke klinik YHF diiming-iming mendapatkan berbagai manfaat kesehatan, seperti mengatasi kanker.
Made mengatakan UGM akan menghormati proses hukum terkait ditetapkan status tersangka oleh BPOM pada YHF. Sebagai bentuk dukungan terhadap proses hukum tersebut, UGM juga telah memberikan informasi dan klarifikasi kepada penyidik terkait riset dan penggunaan fasilitas laboratorium yang bersangkutan selama menjalankan penelitian sebagai staf pengajar.
"Yang bersangkutan tidak pernah menggunakan fasilitas laboratorium kampus untuk memproduksi sekretom sebagai bahan terapi sel punca," kata Made.
Menurut Made, segala praktik layanan sekretom maupun terapi stem cell yang dilakukan YHF di luar sepengetahuan universitas atau fakultas. Maka, itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi yang bersangkutan.
"Namun sekali lagi, kami menghormati sepenuhnya proses hukum yang berlangsung dan menjunjung asas praduga tak bersalah," kata Made.
Terkait status kepegawaian, Made mengatakan pihaknya segera mengambil langkah sesuai dengan peraturan perundang-undangan sambil menunggu putusan hukum yang bersifat final dan mengikat. "Sebagai langkah cepat, kami menonaktifkan yang bersangkutan lebih dulu," kata dia.
Kasus ini bermula ketika BPOM menemukan sarana peredaran produk sekretom ilegal di wilayah Magelang, Jawa Tengah pada 25 Juli 2025. Temuan ini merupakan hasil pengawasan BPOM yang ditindaklanjuti dengan penindakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM bersama dengan Koordinator Pengawas (Korwas) PPNS Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri).
Produk sekretom merupakan salah satu produk biologi yang merupakan turunan dari sel punca atau stem cell. Sekretom didefinisikan sebagai keseluruhan bahan yang dilepaskan oleh sel punca, mencakup mikrovesikel, eksosom, protein, sitokin, zat mirip hormon (hormone-like substances), dan zat imunomodulator.
Penindakan di sarana tersebut berawal dari laporan masyarakat mengenai dugaan praktik pengobatan ilegal oleh dokter hewan yang dilakukan terhadap pasien manusia. Praktik pengobatan ini menggunakan produk sekretom ilegal yang disuntikkan secara intramuscullar seperti pada bagian lengan. Sarana ilegal tersebut berada di tengah pemukiman padat penduduk serta melayani terapi/pengobatan kepada pasien yang sebagian besar merupakan pasien manusia. Sarana ini dikamuflasekan dengan mencantumkan papan nama berupa Praktik Dokter Hewan.
Dari hasil pengecekan dan pendalaman PPNS BPOM, diketahui sarana hanya memiliki perizinan untuk praktik dokter hewan. YHF yang berprofesi sebagai dokter hewan tidak memiliki kewenangan untuk memberikan terapi/pengobatan kepada pasien manusia.
Produk sekretom yang digunakan sebagai terapi bagi pasien dibuat sendiri oleh dokter hewan tersebut dan belum memiliki nomor izin edar (NIE) BPOM.
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan selain melakukan praktik terapi sekretom, YHF membuat produk kosmetik berupa krim wajah dan diedarkan di beberapa daerah di Indonesia. YHF diduga mendapatkan keuntungan sebesar Rp 230 miliar dari praktik terapi dan produksi sekretom.
Produksi produk sekretom ilegal ini juga diduga dilakukan menggunakan fasilitas laboratorium di sebuah universitas di Yogyakarta.
Dari hasil olah tempat kejadian perkara (TKP), tim PPNS BPOM menemukan dan mengamankan produk jadi berupa produk sekretom yang sudah dimasukkan ke dalam kemasan tabung eppendorf 1,5 ml. Cairan berwarna merah muda dan orens ini dalam bentuk siap disuntikkan kepada pasien. Selain itu, ditemukan 23 botol produk sekretom dalam kemasan botol 5 liter yang tersimpan di dalam kulkas dan produk krim mengandung sekretom untuk pengobatan luka. Di TKP juga ditemukan peralatan suntik serta termos pendingin yang berstiker identitas dan alamat lengkap pasien.
Tindakan mengedarkan produk sekretom ilegal ini diduga melanggar tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 435 jo. Pasal 138 ayat (2) serta Pasal 436 ayat (1) jo. Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pelaku usaha yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 12 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 5 miliar. Kemudian pelaku yang melakukan pekerjaan kefarmasian tanpa keahlian dan kewenangan juga dapat dikenai pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.