
SEJUMLAH kerja sama internasional, khususnya di bidang ekonomi, menjadi catatan positif dalam satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Bergabungnya Indonesia di forum kerja sama negara-negara berkembang terkemuka BRICS awal tahun ini, misalnya, menjadi babak baru diplomasi ekonomi global.
Tak cuma itu, pada September lalu, setelah proses perundingan bertahun-tahun, Indonesia sukses menghasilkan dua perjanjian strategis. Kedua kesepakatan itu adalah Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU–CEPA) dan Indonesia–Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA–CEPA).
Sejumlah kerja sama itu dinilai penting bagi perekonomian Indonesia, terutama untuk bisa memperluas pasar internasional dan tidak bergantung pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Keanggotaan BRICS
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan keikutsertaan Indonesia dalam BRICS memiliki peran strategis yang cukup signifikan. Sebelum mengalami perluasan keanggotaan, BRICS memiliki representasi sekitar 34% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) global dengan nilai sebesar US$28 triliun.
Setelah bergabungnya Indonesia bersama negara-negara anggota baru lainnya, BRICS hingga kini telah mencakup 40% dari PDB dunia dan merepresentasikan sekitar 56% populasi global.
"Jadi ini ekonominya terus bertambah, dan kalau kita lihat berdasarkan purchasing power parity, ini juga BRICS itu sudah lebih tinggi dari G7. Jadi ini yang mendorong bahwa BRICS menjadi bagian dari Global South, dan diharapkan bisa menyuarakan Global South di forum internasional," ungkap Airlangga saat mendampingi Presiden Prabowo Subianto menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 di Brasil, Juli lalu.
Airlangga mencontohkan salah satu poin pembahasan dari KTT BRICS 2025 di Brasil adalah pendalaman kerja sama di bidang ekonomi, perdagangan, dan keuangan.
Bagi Indonesia, katanya, agenda tersebut sangat penting dalam memperluas akses pasar bagi produk nasional dan menciptakan ketahanan ekonomi di tengah gejolak global.
"Ini menjadi penting bagi Indonesia di tengah ketidakpastian. Kita punya BRICS yang diharapkan bisa juga untuk menyerap produk-produk Indonesia," jelasnya.
Eropa dan Amerika Utara
Sementara itu, perjanjian IEU–CEPA dan ICA–CEPA juga menjadi momentum bersejarah. Kedua kesepakatan tersebut menegaskan komitmen Indonesia dalam memperkuat diplomasi ekonomi. Itu sekaligus membuka jalan bagi peningkatan akses pasar, investasi, serta kerja sama yang lebih luas dengan mitra utama di Eropa dan Amerika Utara.
Penandatanganan ICA CEPA disaksikan langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Kanada Mark Carney di Ottawa, September lalu. Adapun penandatanganan dan pengumuman bersama Kesepakatan Substantif IEU-CEPA dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto beserta Komisioner Perdagangan dan Keamanan Ekonomi Komisi Eropa Maroš Šefcovic di Bali, di akhir September.
Airlangga menyatakan Indonesia dan Uni Eropa berkomitmen untuk melaksanakan perjanjian yang akan memberikan manfaat bagi para pelaku usaha, UMKM, serta masyarakat di kedua belah pihak.
Lebih lanjut, perjanjian IEU-CEPA itu akan membuka peluang investasi yang lebih besar, memfasilitasi perdagangan, mentransfer teknologi, serta memperkuat integrasi Indonesia dan Uni Eropa dalam global value chain.
Implementasi IEU-CEPA diharapkan akan membuka peluang besar bagi peningkatan daya saing produk Indonesia karena terdapat lebih dari 98% tarif perdaganganakan dihapuskan.
Dengan itu, komoditas unggulan Indonesia akan semakin kompetitif di pasar Eropa. Ekspor Indonesia ke Uni Eropa diproyeksikan dapat meningkat signifikan hampir 60% dan menciptakan lapangan kerja baru.
Dongkrak Ekspor
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berharap kesepakatan IEU-CEPA mampu memberikan dampak nyata bagi daya saing usaha, peningkatan investasi. Selain itu membuka akses tidak hanya bagi perusahaan besar, namun juga bagi pekerja profesional.
Ketua Umum Apindon Shinta W Kamdani menyebut penandatanganan IEU-CEPA merupakan milestone diplomasi sekaligus game changer yang menandai transisi dari 'potential economy' menuju 'performance economy'.
Shinta memaparkan, ekspor Indonesia ke 27 negara Uni Eropa pada 2024 mencapai US$17,34 miliar meski tanpa adanya kerangka preferensi khusus.
Dengan diberlakukannya IEU-CEPA, dengan hampir seluruh hambatan tarif dihapus, hal itu diproyeksi akan memberikan dampak signifikan. Nilai perdagangan bilateral ditargetkan melonjak hingga US$60 miliar, dengan volume ekspor Indonesia naik lebih dari 50% hanya dalam 3-4 tahun ke depan.
"Sejumlah sektor unggulan Indonesia seperti minyak sawit, tekstil, alas kaki, dan perikanan akan mendapat akses lebih luas di pasar Uni Eropa. Selain itu, sektor jasa profesional, mulai dari arsitektur, konsultan hukum, hingga industri kreatif, diharapkan mampu bersaing bukan hanya dari sisi harga, tetapi juga kualitas dan inovasi," katanya.
Menuju Keanggotaan OECD
Selain beberapa perjanjian yang sudah disepakati, Indonesia juga saat ini merupakan kandidat resmi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Jika berhasil, Indonesia akan menjadi negara ASEAN pertama yang bergabung dengan OECD.
OECD merupakan organisasi internasional yang saat ini memiliki 38 negara anggota, 87% di antaranya merupakan negara maju. Ke-38 negara anggota itu mewakili 46% PDB dunia dan 70% perdagangan global.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyebut aksesi Indonesia ke OECD menjadi salah satu langkah nyata dalam membangun perubahan struktural secara mendasar dengan mengadopsi praktik terbaik dunia.
Selain itu, keanggotaan di OECD turut memperkuat posisi Indonesia dalam menentukan arah kebijakan ekonomi global untuk mempromosikan kepentingan nasional. (Ifa/E-1)