Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan mengatakan kunci meningkatkan nilai tambah (added value) sumber daya alam (SDA) di Indonesia adalah penguasaan teknologi dan modal manusia (human capital) yang lebih baik.
“Sumber daya alam ini ingin kita bikin added value-nya di Indonesia, maka jawabannya adalah penguasaan teknologi dan human capital yang lebih baik itu menjadi kuncinya,” ujar dia dalam agenda peluncuran laporan “Bisnis AS untuk Indonesia” (BISA) bertema “Strengthening Indonesia’s Future through US-Indonesia Business Collaboration” oleh US-ASEAN Business Council (USABC) di Jakarta, Selasa.
Selama ini, Indonesia disebut sudah berhasil menghadirkan ekosistem dan hilirisasi yang berbasis nikel. Namun, pada kenyataannya, smelter, prekursor, cutter (mesin pemotong batu tambang), baterai sel, hingga pengelolaan kembali limbah dikuasai oleh China, sedangkan Indonesia hanya memiliki 80 persen tambang.
Artinya, keadaan dinilai tak memberikan kekuatan backbone bagi industri dalam negeri karena teknologi dan kualitas sumber daya manusia yang sangat lemah.
“Ini fundamental bagi kemajuan suatu negara. Jadi, kalau kita di 2045 ingin menembus era Indonesia Emas, ini yang harus dibenahi,” ungkapnya.
Melihat contoh negara-negara maju, mereka dinilai memiliki teknologi dan modal manusia yang baik, modal yang kuat, akses pasar secara global, hingga memiliki penduduk lanjut usia dengan proporsi meningkat secara signifikan. Aspek-aspek tersebut dianggap menjadi awal kemunculan inovasi, yang di antaranya mengganti peran tenaga kerja manusia dengan teknologi (mesin, robot, sensor) guna mengatasi tantangan peningkatan penduduk berusia lanjut.
Baca juga: Kementerian Investasi kedepankan "triple helix" untuk dorong inovasi
Baca juga: BKPM harap hubungan bisnis Indonesia-AS berlangsung sangat baik
Baca juga: BKPM: Pertumbuhan berkelanjutan penting capai ekonomi 8 persen
Selain mengatasi persoalan yang terjadi di wilayah masing-masing, negara-negara maju juga memiliki produktivitas dan daya saing nan tinggi, sehingga mampu menguasai pasar.
Sebagai contoh, China begitu berkembang karena mampu mengombinasikan tenaga kerja manusia dengan teknologi, yang membuat negara tersebut bisa memenangkan persaingan secara global.
Produk-produk yang dihasilkan China memiliki harga relatif lebih murah dengan kualitas baik. Bahkan, ditambah adanya norma baru bahwa suatu produk harus ramah lingkungan (sustain), pasar rela membeli produk tersebut karena memberikan proteksi terhadap lingkungan, walaupun harga lebih mahal.
“Artinya ke depan, kemampuan daya saing itu menjadi hal yang menentukan, tetapi juga norma-norma baru menentukan kiblat dari market itu akan mengarah kemana. Di situlah market kemudian Indonesia pun harus men-set dirinya menjadi bagian dari pesaing yang cukup tangguh,” ungkap Nurul.
Baca juga: Kemenkeu siapkan strategi guna ciptakan iklim usaha yang kondusif
Baca juga: Prabowo terima laporan patriot bond dari Rosan, tembus Rp50 triliun
Baca juga: Investor muda mendominasi, OJK ajak mahasiswa cerdas berinvestasi
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Indra Arief Pribadi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.